Minggu, 29 November 2015

Konsep Infrastruktur Data Spasial (IDS)



Konsep Infrastruktur Data Spasial (IDS) bukanlah merupakan konsep baru. Konsep IDS sudah mulai diperkenalkan sejak pertengahan dekade 1980-an. Kelahiran konsep IDS berawal dari adanya kesadaran para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) agar lebih mampu mengoptimalkan manfaat dari Data spasial. Dipikirkannya konsep IDS dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan atau kondisi seperti:

1.     Kesadaran akan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh data spasial dan juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk pengadaan data spasial tersebut. Kenyataan mahalnya pengadaan data spasial tersebut akan berdampak pada mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun SIG, seperti diketahui bahwa 70-80% biaya untuk membangun SIG adalah untuk pengadaan Data Spasial.
2.     Suatu keadaan dimana pengadaan data spasial masih bersifat sektoral. Artinya pengadaan data spasial pada suatu instansi hanya untuk memenuhi kebutuhan instansi tersebut dengan standar yang ditetapkan adalah standar bagi instansi tersebut. Keadaan ini sering mengakibatkan terjadinya duplikasi pengadaan data antar satu instansi dengan instansi lain untuk lokasi yang sama.
3.     Kesulitan dalam melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan dari bermacam instansi. Kondisi data spasial (tema tidak lengkap, skala kurang detil, data tidak up-to-date, sistem referensi berbeda, format data berbeda, sulit diakses), data Atribut/Tabular/Statistik (data tidak lengkap, data kurang detil, data tidak up-to-date, referensi berbeda, format berbeda, sulit diakses) tidak seperti kondisi data yang diharapkan (data terintegrasi, detil, tersistem, up-to-date, dapat langsung dipakai, dan mudah diakses).

Kondisi-kondisi tersebut dan didukung dengan kemajuan teknologi yang pesat memacu dipikirkannya suatu pengelolaan data spasial yang terintegrasi sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi kemanfaatan data spasial.

Apa itu IDS?
Infrastruktur Data Spasial (IDS) merupakan inisiatif dalam pengelolaan data spasial yang terintegrasi antara komponen Sumber Daya Manusia (SDM) atau stakeholder, Kebijakan dan perundang-undangan, teknologi, dan standardisasi serta data spasial, yang memungkinkan berbagi pakai data (data sharing) dan kemudahan akses untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan data spasial.

Interaksi antar komponen dalam IDS diatur melalui policy (kebijakan dan perundang-undangan). Melalui kebijakan dan perundang-undangan diatur kewenangan suatu instansi untuk melakukan pengelolaan terhadap tema data tertentu. Kebijakan juga mengatur bagaimana cara pengaksesan data, biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh data dan aturan-aturan lainnya yang berkaitan dengan operasionalisasi IDS.
Teknologi digunakan untuk pendistribusian data, pengaksesan data, dan penyimpanan data. Dengan perkembangan teknologi jaringan yang ada saat ini maka proses pendistribusian, pengaksesan dan transfer data dapat dilakukan secara online sehingga berbagi pakai data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
Adanya standardisasi membuat data menjadi mudah digunakan. penstandaran diterapkan untuk metadata, format data, model data dan transfer data. dengan adanya standardisasi tersebut maka data akan lebih mudah dicari, didistribusikan, dan dianalisis.

IDS merupakan konsep yang brilian dalam pengelolaan data spasial. Beberapa manfaat yang mudah dilihat dari keberadaan IDS diantaranya :

1.     Tidak adanya duplikasi pengadaan data sesuai dengan prinsip “mengadakan sekali dipakai bersama berulang kali” maka terjadi efisiensi anggaran yang dikeluarkan untuk pengaadaan data.
2.     Diberinya kewenangan pada instansi yang kompeten terhadap suatu tema data tertentu dalam membuat, menyimpan, mendistribusikan, dan mengup-date data, tentunya akan menghasilkan data spasial yang berkualitas lebih baik.
3.     Adanya data yang komplit, berkualitas baik, dan sesuai standar, dapat digunakan untuk menghasilkan analisis pengambilan keputusan yang lebih akurat.
4.     Ketersedian data yang lengkap, standar, dapat diperoleh dengan cepat melalui metode akses yang baik akan membuka dan memperluas potensi pasar

Konsep Infratruktur Data Spasial akan terus berevolusi dan menjadi unsur infrastruktur yang semakin penting dalam mendukung perkembangan ekonomi, pengelolaan lingkungan, pengelolaan Sumber Daya Alam, penanganan bencana, dan stabilitas sosial. Karena sifatnya yang dinamis dan kompleks, perkembangannya sangat bergantung pada kebutuhan dan keadaan, praktisi yang terlibat, para peneliti, dan pemerintah dalam mengadopsi dan menyatukan pandangan yang berbeda.

Di Indonesia saat ini konsep IDS dikembangkan dengan nama Infrastruktur Data Spasial Nasional(IDSN) yang dalam sejarahnya mulai dikembangkan sejak tahun 1993. Untuk diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mengembangkan IDS pada generasi pertama. Diperlukanawarness dari berbagai pihak dalam keberhasilan pengembangan IDS untuk kemajuan bangsa.

Minggu, 10 November 2013

PEMODELAN GEOID DARI PENGAMATAN GAYABERAT



PEMODELAN GEOID DARI PENGAMATAN GAYABERAT
Virgus Ari Sondang (21110110110013)
Program Studi Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro
Abstrak
Salah satu tujuan ilmu geodesi adalah menentukan bentuk dan ukuran bumi termasuk juga di dalamnya menentukan medan gayaberat bumi dalam dimensi ruang dan waktu. Bentuk bumi didekati melalui beberapa model diantaranya ellipsoida yang merupakan bentuk ideal dengan asumsi bahwa densitas (kerapatan) bumi homogen. Sementara itu kenyataan sebenarnya, densitas massa bumi yang heterogen dengan adanya gunung, lautan, cekungan,dataran akan membuat ellipsoid berubah menjadi bentuk yang baru yaitu Geoid.
1.             Pendahuluan
Geoid disebut sebagai model bumi yang mendekati sesungguhnya. Lebih jauh geoid dapat didefinisikan sebagai bidang ekuipotensial yang berimpit dengan permukaan laut pada saat keadaan tenang dan tanpa gangguan, karena itu secara praktis geoid dianggap berhimpit dengan permukaan laut rata-rata (Mean Sea Level-MSL). Jarak geoid terhadap ellipsoid disebut Undulasi geoid (N). Nilai dari undulasi geoid tidak sama di semua tempat, hal ini disebabkan ketidakseragaman sebaran densitas massa bumi. Untuk keperluan aplikasi geodesi, geofisika, dan oseanografi dibutuhkan geoid dengan ketelitian yang cukup tinggi.
http://principles.ou.edu/earth_figure_gravity/geoid/geoid-ellipsoidal-orthometric_height.jpg
Gambar 1. Hubungan geoid, ellipsoid, dan pemukaan topografi
Geoid memiliki peran yang cukup penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk  bidang geodesi yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi  geoid teliti. Hal Ini disebabkan karena tinggi GPS adalah bersifat geometrik karena mengacu pada bidang matematis ellipsoid, sedangkan tinggi yang diperlukan untuk keperluan praktis adalah tinggi yang mempunyai arti fisik di permukaan bumi yaitu tinggi orthometrik di mana bidang acuannya adalah geoid. Beda tinggi antara ellipsoid dan tinggi geoid sangatlah bervariasi dan besarnya bisa mencapai puluhan meter, sehingga pemakaian langsung tinggi GPS (tinggi ellipsoid) itu dapat menyebabkan penyimpangan puluhan meter terhadap tinggi orthometrik.
Pada saat ini dan yang akan datang, kebutuhan akan model geoid akan sangat mendesak karena pesatnya pemakaian GPS untuk berbagai keperluan rekayasa dan survei pemetaan. Perkembangan pesat ini didukung oleh kecanggihan teknik GPS itu sendiri yang dapat mengukur dimana saja, kapan saja dan tidak tergantung cuaca di seluruh permukaan bumi. Selain itu dengan perkembangan metoda kinematik GPS yang dapat menghasilkan tinggi hingga tingkat centimeter semakin menarik minat pengguna GPS untuk menggunakan GPS dalam penentuan tinggi orthometrik. Selain berfungsi untuk penentuan tinggi ortometrik, geoid juga diperlukan dalam unifikasi sistem datum tinggi.
2.             Penentuan Geoid dari Pengukuran Gayaberat
2.1         Teknik Penentuan Geoid dari Pengukuran Gayaberat
Pengukuran gayaberat untuk membuat model geoid dengan cara terestris menggunakan alat gravimeter Lacoste-Romberg yang merupakan pengukuran gayaberat langsung di permukaan bumi. Alat gravimeter ditempatkan di titik-titik ukur dan kemudian dilakukan pembacaan.  Pada pengukuran ini salah satu stasiun pengamatan biasanya sudah harus diketahui harga gayaberatnya (pengukuran gayaberat relatif). Pada stasiun yang telah diketahui harga gayaberatnya dilakukan pembacaan skala mikrometer, kemudian gravimeter dipindahkan ke stasiun berikutnya dan dilakukan pembacaan mikrometer, sehingga melalui pembacaan mikrometer diketahui perubahan gayaberat antara dua stasiun yang telah dilakukan pengukuran tersebut.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/31/Autograv_CG5_P1150838.JPG
Gambar 2. Alat Gravimeter
Pada pengukuran gayaberat untuk pembuatan model geoid secara terestris dengan menggunakan instrumen gravimeter akan bermasalah jika daerah observasi cukup luas dengan kondisi topografi yang sulit dijangkau seperti hutan belantara, pengunungan, gunung es, dan juga lautan yang luas. Hal ini akan memakan waktu yang sangat lama dan tenaga yang cukup besar, yang berarti biaya yang dikeluarkan akan sangat besar pula.
2.2         Akuisisi data Pengukuran Gayaberat
Pengukuran metode gayaberat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu penentuan titik ikat dan pengukuran titik-titik gayaberat. Sebelum survei dilakukan perlu menentukan terlebih dahulu base station, biasanya dipilih pada lokasi yang cukup stabil, mudah dikenal dan dijangkau. Base station jumlahnya bisa lebih dari satu tergantung dari kondisi lapangan. Masing-masing base station sebaiknya dijelaskan secara cermat dan terperinci meliputi posisi dan nama tempat. Base ini digunakan sebagai titik tutupan harian dan juga sebagai nilai acuan bagi stasiun gayaberat lainnya.
Data-data yang diambil pada saat pengukuran adalah:
1.             Tanggal dan hari pembacaan
Data ini berguna untuk koreksi pasang surut.
2.             Waktu pembacaan
Data ini berguna untuk koreksi apungan (drift) dan penentuan pasang surut.
3.             Pembacaan alat
4.             Koordinat stasiun pengukuran dengan menggunakan GPS
5.             Data inner zone untuk koreksi Terrain
6.             Ketinggian titik pengukuran
2.3         Pengolahan Data Gayaberat
Pengolahan data gayaberat yang sering disebut juga reduksi data gayaberat, secara umum dapat dipisahkan menjadi dua macam, yaitu proses dasar dan proses lanjutan. Proses dasar mencakup seluruh proses berawal dari nilai pembacaan alat di lapangan sampai diperoleh nilai anomali Bouguer di setiap titik amat. Proses tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut.
1.             Konversi pembacaan gravimeter ke nilai miligal (reformat)
2.             Koreksi apungan (drift correction)
Koreksi drift merupakan koreksi pada alat. Pada akuisisi apungan dimulai di base dan diakhiri di base, sehingga besarnya koreksi apungan dapat dihitung dengan asumsi bahwa besarnya penyimpangan berbanding lurus terhadap waktu.
Keterangan:
GST0           = bacaan gravitasi terkoreksi pasut di BS awal
GSTakhir     = bacaan gravitasi terkoreksi pasut di BS akhir
tn               = waktu pembacaan pada stasiun ke-n
t0               = waktu pembacaan pada BS0
takhir           = waktu pembacaan pada BSakhir
3.             Koreksi pasang surut (tidal correction)
Pasang surut air laut disebabkan oleh revolusi bumi mengelilingi matahari dan revolusi bulan mengelilingi bumi menyebabkan variasi hasil pengukuran percepatan gravitasi di permukaan bumi terhadap waktu dan posisi. Oleh karena adanya penarikan bulan dan matahari, gravitasi bumi mengalami penyimpangan secara periodik dari nilai-nilai normalnya. Gaya pasang surut dapat diketahui dengan mengurangi penarikan bulan dan matahari pada suatu titik pengamatan dari penarikan benda-benda yang sama pada pusat bumi. Beda antara kedua penarikan ini disebut gaya pasang surut dan terdiri dari komponen tegak dan datar. Besarnya koreksi pasang surut selalu ditambahkan di dalam perhitungan.
4.             Koreksi lintang (latitude correction)
Koreksi posisi lintang dilakukan karena bentuk bumi yang ellipsoid, dengan mengacu pada Geodetic Reference System 1967 (GRS67), koreksi posisi lintang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
5.             Koreksi udara bebas (free-air correction)
Perlu dikoreksi elevasi titik stasiun terhadap geoid, yang dituliskan sebagai berikut.
Sehingga nilai gayaberat di geoid adalah sebagai berikut.
6.             Koreksi Bouguer
Koreksi ini memperhitungkan adanya massa yang mengisi antara bidang acuan dengan ketinggian h. massa ini dianggap sebagai lempeng massa (slab) dengan jari-jari tak terhingga. Rumus koreksi Bouguer sebagai berikut.
G adalah konstanta Gravitasi Newton,  adalah massa jenis batuan (gram/cm3).
7.             Koreksi medan (terrain correction)
Pengukuran gayaberat menggunakan gravimeter adalah relative terhadap BS, sehingga dalam pengukuran diperoleh beda nilai antara stasiun pengamatan dengan BS.
3.             Menghitung anomali Bouguer
Anomali Bouguer merupakan anomali pada gravitasi, yaitu perbedaan harga gravitasi bumi sebenarnya (gravitasi pengamatan di lapangan) dengan harga gravitasi model bumi homogeny teoretis di suatu daerah referensi tertentu. Anomali Bouguer diukur untuk ketinggian yang dipengaruhi oleh gaya tarik medan gravitasi. Karena dipengaruhi oleh ketinggian maka anomali Bouguer harus dikoreksi terhadap elevasi yaitu dengan koreksi terhadap Free Air Condition.
Persamaan untuk anomali Bouguer adalah sebagai berikut.
Dengan
Nilai G absolute yang dipakai adalah 978164,8.
3.1     Interpretasi Kualitatif
Interpretasi kualitatif dilakukan dengan mengamati data gravitasi berupa anomali Bouguer. Anomali tersebut akan memberikan hasil secara global yang masih mempunyai anomali regional dan residual. Hasil interpretasi dapat menafsirkan pengaruh anomali terhadap bentuk benda, tetapi tidak sampai memperoleh besaran matematisnya. Misal peta kontur anomali Bouguer diperoleh bentuk kontur tertutup maka dapat ditafsirkan sebagai struktur batuan berupa lipatan (sinklin atau antiklin). Dengan interpretasi ini dapat dilihat arah penyebaran anomali atau nilai anomali yang dihasilkan.
3.2     Interpretasi Kuantitatif
Interpretasi kuantitatif dilakukan untuk memahami lebih dalam hasil interpretasi kualitatif dengan membuat penampang gravitasi pada peta kontur anomali. Teknik interpretasi kuantitatif mengasumsikan distribusi rapat massa dan menghitung efek gaya gravitasi kemudian membandingkan dengan gaya gravitasi yang diamati.
Metode yang digunakan dalam pemodelan gayaberat secara umum dibedakan ke dalam dua cara, yaitu pemodelan kedepan (forward modelling) dan inverse (inverse modeling). Prinsip umum kedua pemodelan ini adalah meminimumkan selisih anomali perhitungan dengan anomali pengamatan, melalui metode kuadrat terkecil (least square), teknik matematika tertentu, baik linier atau non linier, dan menerapkan batasan-batasan untuk mengurangi ambiguitas.

4.             Pemodelan Geoid dari Data Anomali Gayaberat di Indonesia
Beberapa studi pemodelan geoid-gravimetrik menyimpulkan bahwa kondisi data anomali gayaberat yang ada menjadi salah satu kendala bagi upaya pemodelan medan gayaberat teliti di Indonesia. Prosedur prediksi dengan metode yang lebih baik dapat membuka kemungkinan untuk melakukan penyusunan ulang data anomali gayaberat yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Gambar 3. Peta Anomali Bouguer Indonesia
Proses prediksi dilakukan pada data anomali gayaberat di pulau Jawa dengan metode kolokasi kuadrat terkecil. Data anomali gayaberat diperoleh dari hasil prosedur reduksi pada data gayaberat absolut hasil observasi. Tiga alternatif proses reduksi guna memperhalus bidang prediksi dilakukan dengan membentuk besaran anomali free-air residu dan anomali Bouguer residu. Anomali residu tersebut diperoleh dengan menghilangkan bagian gelombang panjang dengan model geopotensial EGM96 atau persamaan polinomial 2D. Hasil proses prediksi diuji secara empirik dengan mencari selisih nilai hasil observasi dengan nilai hasil prediksi.



DAFTAR PUSTAKA
Conrad, Clint. Lecture 3: Earth Figure, Gravity, and Geoid. University of Hawaii.
Li, Xiong dan Gotze, Hans-Jurgen. 2001. Tutorial Ellipsoid, Geoid, Gravity, Geodesy, and Geophysics. Berlin.
Latifah, Iif. 2010. Penentuan Anomali Bouguer dan Densitas Rata-rata Batuan berdasarkan Data Gravitasi di Daerah Semarang. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sarkowi, Muhammad. 2005. Survey Gayaberat Mikro 4D Untuk Monitoring Dinamika Air Tanah. UNILA Bandar Lampung.
Adhi, Pribadi Mumpudi dkk. 2011. Metode Gayaberat, ITB Bandung.
SNI 19-7149-2005 Jaring Kontrol Gayaberat
s_d0251_0608311_chapter3.pdf
Yuwono, Bambang Darmo. 2013, Slide Perkuliahan GEOFISIS dan Metode Gayaberat (Gravitasi), UNDIP Semarang.
http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=89 diakses pada 9 November 2013.