Minggu, 21 April 2013

ANALISIS ALOKASI HUTAN SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN GEOTHERMAL DI KAWASAN HUTAN LINDUNG BATUTEGI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


BAB I
PENDAHULUAN
I.1        Latar belakang
Dewasa ini sering terjadi pengerusakan kawasan hutan lindung di berbagai wilayah di Indonesia. Hutan lindung yang seharusnya menjadi daerah resapan air, kelestarian flora dan fauna yang ada di dalamnya, dan lumbung oksigen dunia kini telah berubah fungsi menjadi kawasan industri, perkotaan dengan gedung-gedung bertingkat, maupun perkebunan yang kurang produktif hasil buminya. Oleh karena itu diperlukan pemahaman tentang definisi hutan dan fungsinya. Hutan dalam bahasa Inggris disebut forest berasal dari akar kata foret (Perancis), silva atau forestis (Latin Pertengahan), yang berarti kayu yang berada di luar dinding taman dan foris (Latin) yang berarti di luar (Neufeidt dan Guralink, 1996 : Bruening, 1996 dalam Suhendang, 2002). Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan:
„Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.“
Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan.
Dalam hal ini, undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai kawasan hutan dalam pengertian di atas adalah:
„...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.“
Hutan lindung pengertiannya kerap dipertukar-tukarkan dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi pada umumnya. Kawasan konservasi, atau yang juga biasa disebut sebagai kawasan yang dilindungi (protected areas), lazimnya merujuk pada wilayah-wilayah yang didedikasikan untuk melindungi kekayaan hayati seperti halnya kawasan-kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud oleh UU No 5/1990. Jadi, fungsinya jelas berbeda dengan hutan lindung.
Sedangkan kawasan lindung memiliki pengertian yang lebih luas, di mana hutan lindung tercakup di dalamnya. Keppres No 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan:
„Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.“
di mana mencakup (kawasan) hutan lindung sebagai:
„ ... kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.“
dan memisahkannya dari bentuk-bentuk kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, serta sempadan waduk, danau, dan mata air. Undang-undang RI No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya memuat perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kesatuan Pengelola Hutan Batutegi Lampung bahwa kondisi hutan lindung itu makin memprihatinkan dan hampir 76% dari total luas lahan hutan lindung di kawasan itu telah rusak atau berubah fungsi. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi keberlangsungan pengembangan energi terbarukan geothermal. Luas hutan lindung Batutegi sekitar 58.173 hektare. Kawasan tersebut terdiri dari tiga register yakni 39, 32 dan 22 yang berada dalam wilayah empat kabupaten, yakni Lampung Barat, Lampung Tengah, Tanggamus, dan Pringsewu. Hampir 76% dari areal hutan yang berubah fungsi itu digunakan untuk tanaman kopi. Saat ini, telah ada 28 kelompok hutan kemasyarakatan yang siap dibina agar hutan kembali hijau. Pembinaan dengan metode multiple cropping itu, selain dapat memulihkan kondisi hutan, masyarakat juga akan memperoleh keuntungan secara ekonomis. Namun metode yang digunakan saat ini monokultural, masyarakat hanya menanam kopi dan dampaknya secara ekonomis dalam setahun hanya dapat memanen sekali. Saat ini, masyarakat hanya membutuhkan sebuah pembuktian dengan tanaman multiple cropping maka kesejahteraan akan semakin meningkat. Dengan demikian, dalam jangka panjang fungsi hutan akan kembali pulih dan pengembangan energi geotermal akan berlangsung lebih lama.
I.2     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah,
1.      Bagaimana mengalokasikan luas areal hutan sebagai daerah pengembangan energi terbarukan geothermal di kawasan Hutan Lindung Batutegi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis
2.      Bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat di kawasan Hutan Lindung Batutegi dengan metode multiple cropping
I.3     Batasan Masalah
1.      Penelitian ini dilakukan di kawasan Hutan Lindung Batutegi, Propinsi Lampung
2.      Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Lindung Batutegi yang merasakan dampak langsung dari kerusakan hutan
3.      Penelitian ini dilakukan sebagai langkah untuk memaksimalkan penggunaan energy geothermal (panas bumi) di kawasan Hutan Lindung Batutegi

I.4     Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah merancang alokasi luas areal hutan sebagai daerah pengembangan energi terbarukan geothermal di kawasan Hutan Lindung Batutegi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis.
I.5     Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan banyak memberikan manfaat, yaitu membantu pihak-pihak yang terkait melalui solusi tepat sasaran agar mampu memaksimalkan penggunaan sumber daya alam panas bumi di Hutan Lindung Batutegi, Lampung.




BAB II
TINJAUAN  PUSTAKA
II.1    Tinjauan Pustaka
Penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan beberapa referensi yang berhubungan dengan obyek pembahasan. Penggunaan referensi ditujukan untuk memberikan batasan-batasan penelitian yang nantinya dapat di kembangkan lebih lanjut, dengan mengacu kepada referensi yang digunakan diharapkan pengembangan sistem nanti dapat melahirkan suatu sistem baru yang belum ada pada referensi sebelumnya.
Wikipedia (2012) bahwa hutan lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya, terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya.
(Neufeidt dan Guralink, 1996 : Bruening, 1996 dalam Suhendang, 2002). Ford-Robinson (1971), dalam Soekotjo (1999) menyebutkan, hutan adalah landskap atau ekosistem yang luas yang didominir oleh pohon dan flora berkayu lainnya yang tumbuh bersama dan relatif rapat.
Helms (1998), dalam Suhendang (2002) meyebutkan, hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beraneka ragam sifat seperti komposisi jenis, struktur, kelas, umur, dan proses-proses yang berhubungan. Pada umumnya mencakup padang rumput, sungai, ikan dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota.
Sharma (1992), dalam Suhendang (2002) meyebutkan, hutan adalah suatu komunitas tumbuhan yang didominir oleh poho-pohon atau tumbuhan berkayu lain, tumbuh secara bersama-sama dan cukup rapat.
Dari definisi pemerintah yaitu sistem kehutanan yang didesain dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, rumahtangga dan lingkungan lokal dan untuk mengembangkan ekonomi lokal (White Paper on Sustainable Forest Development,Government of South Africa).
Dari definisi peneliti yaitu community forestry berbasis pada penguasaan lokal atas, dan pemanfaatan keuntungan dari, sumberdaya hutan lokal. Keuntungan-keuntungan itu bukan semata bersifat moneter, dan bukan pula semata dari produksi kayu, namun dapat bervariasi menurut banyaknya nilai manfaat yang bias didapat dari ekosistem hutan, termasuk nilai-nilai kultural, spiritual, sosial, kesehatan, ekologis, rekreasional, estetika dan ekonomi (Curran and M’Gonigle, 1997).
II.2    Landasan Teori
Energi panas Bumi adalah energi yang diekstraksi dari panas yang tersimpan di dalam bumi. Energi panas Bumi ini berasal dariaktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan Bumi. Energi ini telah dipergunakan untuk memanaskan (ruangan ketika musim dingin atau air) sejak peradabanRomawi, namun sekarang lebih populer untuk menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Giga Watt pembangkit listrik tenaga panas Bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, dan menyumbang sekitar 0.3% total energi listrik dunia. Energi panas Bumi cukup ekonomis dan ramah lingkungan, namun terbatas hanya pada dekat area perbatasan lapisan tektonik.
Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini.
II.3   PROFIL KPHL MODEL BATUTEGI (PROVINSI LAMPUNG)
II.3.1     ASPEK WILAYAH  :
A.  Penetapan Wilayah KPHL dan KPHP tingkat Provinsi Lampung
Penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi Lampung sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.68/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 seluas ± 518.913 ha terdiri dari 9 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) seluas ± 277.690 ha dan 7 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) seluas ± 241.223 ha.
B.  Penetapan KPHL Model Batutegi:
Penetapan KPHL Model Batutegi di Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tanggamus sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.650/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010 seluas ± 58.162 ha, terdiri dari HL seluas ± 58.162 ha.

PETA KPHL MODEL BATUTEGI & FUNGSI KAWASAN HUTAN
BERDASARKAN SK PENETAPAN NOMOR SK.650/MENHUT-II/2010 TANGGAL 22 NOVEMBER 2010

C. Kondisi batas kawasan hutan
Letak geografis   :    104° 20’ - 104° 50’ BT
                               05° 00’ -   05° 30’ LS
Batas–batas         :    Utara     :    Kabupaten Lampung Barat
                                      Selatan   :    Kabupaten Tanggamus
                                      Barat      :    Kabupaten Lampung Barat
                                      Timur     :    Kabupaten Lampung Tengah
D. Kondisi Penutupan Lahan
No
Penutupan Lahan
Luas ± (Ha)
1
Hutan Lahan Kering Sekunder
10.085,75
2
Semak/Belukar
10.918,12
3
Savana
14,03
4
Danau
0,00
5
Pertanian Lahan Kering
979,43
6
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak
36.175,32
 Jumlah
58.172,65
   Sumber : Citra Landsat tahun 2009
II.3.2     ASPEK KELEMBAGAAN
Sudah ada kelembagaan
A.     Bentuk organisasi KPH Model
KPHL Model Batu Tegi berbentuk UPTD
B.      Landasan pembentukan organisasi
Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 tahun  2010 tanggal 6 Agustus 2010.




C.    Struktur Organisasi






BAB III
METODE PENELITIAN

III.1  Diagram Alir Penelitian
Pelaksanaan penelitian dijelaskan melalui diagram alir dibawah ini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar