TUGAS
REVIEW PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH (PPW)
“SISTEM PERGERAKAN
dAN AKTIVITAS KOTA”
Disusun oleh:
KELOMPOK
XII
1. Virgus Arisondang 21110110110013
2. Fajar Dwi Hernawan 21110110120028
3. Vincencya Hutagaol 21110110110053
4. Yuliansyah Rachman 21110110141013
5. Avi Yudhanto 21110111130030
PROGRAM
STUDI TEKNIK GEODESI
FAKULTAS
TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl.
Prof.H.Sudarto, SH Tembalang Semarang, Jawa Tengah
Fax:
(024) 76480788, Telp: (024) 76480788
e-mail
: jurusan@geodesi.ft.undip.ac.id
2013
PENDAHULUAN
I.
Pergerakan
Klasifikasi dari pergerakan, yaitu berdasarkan tujuan
pergerakan, berdasarkan waktu, dan berdasarkan tingkat pendapatan, struktur
rumah tangga dan tingkat pemilikan kendaraan
Jumlah aktivitas
dan intensitas tata guna lahan berpengaruh kepada sebaran pergerakan (Trip Distribution) yang menunjukkan
kemana dan dari mana lalu lintas tersebut bergerak. Salah satu usaha untuk
mengatasinya adalah dengan memahami pola pergerakan yang akan terjadi, misalnya
dari mana hendak kemana, besarnya pergerakan, kapan terjadinya pergerakan
tersebut.
II.
Sistem
Sistem adalah
gabungan bebrapa komponen (objek) yang saling berkaitan dalam satu tatanan
struktur. Perubahan suatu komponen dapat menyebabkan perubahan komponen
lainnya. Misalnya, sistem transportasi merupakan bentuk keterkaitan antara
penumpang/barang, sarana, dan prasarana, yang saling berinteraksi dalam
kegiatan perpindahan orang dan barang yang tercakup dalam satu tatanan, baik
alamiah maupun rekayasa manusia.
III.
Sistem Pergerakan
Sistem
pergerakan adalah hasil interaksi system kegiatan dengan system jaringan, dapat
berwujud lalu-lintas orang, kendaraan, atau barang. Diperlukan system
kelembagaan untuk menciptakan system pergerakan yang aman, nyaman, cepat,
murah, dan sesuai lingkungan. Perubahan system kegiatan akan mempengaruhi
system jaringan dalam bentuk perubahan tingkat pelayanan pada system
pergerakan. Perubahan pada system jaringan akan mempengaruhi system kegiatan dalam
bentuk perubahan mobilitas dan aksesbilitas pergerakan.
IV.
Alat Transportasi
Pergerakan
tidak dapat dipisahkan dari alat transportasi. Terlebih di kota-kota besar
selalu mengandalkan alat transportasi untuk mendukung pergerakan di dalamnya.
Usaha pemerintah dalam mendukung pergerakan banyak dilakukan melalui pemecahan
sektoral, dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan, pembangunan jaringan
jalan baru, rekayasa manajemen lalu lintas, dan pengaturan transportasi
angkutan umum. Kebutuhan pergerakan cenderung berkembang dengan pesat sedangkan
penyediaan fasilitas dan prasarana transportasi berkembang sangat lamban sehingga
tidak bisa mengikutinya.
Selain
pemecahan secara sektoral untuk mendukung pergerakan dapat dilakukan secara
komprehensif melalui pendekatan struktur tata ruang kota terpadu. Struktur kota
yang efisien akan mengakomodasikan pusat dan sub pusat kota sedemikian rupa
sehingga mampu mengurangi ketergantungan kawasan kota hanya pada satu kawasan
pusat atau dapat disimpulkan struktur kota yang baik akan mampu menyebarkan
pola pergerakan secara merata diseluruh kawasan, tidak terpusat pada pusat
kota.
PEMBAHASAN
V.
Faktor
Pergerakan
Struktur kota dan penggunaan lahannya berpengaruh terhadap
pola pergerakan. Untuk mencapai terwujudnya tujuan review ini dilakukan
analisis struktur kota dengan menganalis faktor kependudukan, pola tata guna
lahan, jaringan jalan dan menganalis pola pergerakan melalui analisis bangkitan
pergerakan, distribusi pergerakan, dan interaksi pergerakan.
1.
Faktor Kependudukan
Adanya
peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan
sosial ekonomi, juga peningkatan kebutuhan pelayanan, dan selaras dengan itu
akan terjadi peningkatan prasarana. Sebagai Sistem Kota, Prasarana
(infrastruktur) merupakan kelengkapan dasar lingkungan, kawasan, kota, atau
wilayah (ruang/spatial). Dimana dengan perkembangan tersebut akan
mempengaruhi tingkat kepadatan dan juga pola pergerakan penduduk di suatu
wilayah.
2. Pola Tata Guna Lahan
Perbedaan karakteristik
pola tata guna lahan antara tanah perkotaan dan tanah pedesaan adalah sebagai
berikut.
1.
Tata guna lahan perkotaan
Salah satu pendekatan dalam manajemen tata guna
lahan perkotaan adalah pendekatan ekonomi atau economic base approach.
Pendekatan ini membagi kegiatan ekonomi menjadi 2 yaitu:
a.
Kegiatan ekonomi dasar (basic activities) yang membuat dan atau menyalurkan barang dan jasa
ke tempat lain di sekitar kota.
b.
Kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi dan menyalurkan barang dan
jasa untuk keperluan penduduk kota itu sendiri. Kegiatan ini disebut juga
dengan residential activities atau service activities.
Kegiatan
ekonomi yang menggunakan lahan perkotaan adalah sebagai berikut.
a.
Industri, terdiri dari:
1)
Industri berhaluan bahan (bahan mentah harus diperhitungkan
secara khusus), berlokasi di tempat tedapatnya bahan mentah tsb.
2)
Industri berhaluan pasar, berlokasi di tempat pemasaran.
3)
Industri berhaluan pekerja, berloksi di tempat tenaga
kerja yaitu pengerjaan barang industri yang memerlukan keahlian khusus seperti membatik,
bordir, dll.
b.
Jasa, yang menggunakan lahan kota adalah jalan, terminal,
rel kereta api, stasiun, dsb. Selain itu, perdagangan (toko, warung, dll),
pendidikan, rekreasi, kesehatan, keagamaan, pemerintahan, dll.
c.
Sektor informal.
Menurut ILO, sektor informal di negara berkembang
diantaranya menyangkut penduduk yang banyak sekali serta bukan merupakan
pekerjaan sementara, meliputi banyak macam kegiatan ekonomi, pada beberapa
kasus sektor informal dan sektor formal berhimpitan, dan keberadaannya bukan
merupakan indikasi atas ketertinggalan perkembangan ekonomi.
Pengelolaan
sektor informal di negara berkembang dilakukan dengan menentukan skala dan luas
sektor informal, menentukan pola produksi, menentukan pola dan sumber investasi
serta jumlahnya, menentukan tingkat pendapatan dan tabungan, menentukan sifat
dan keterkaitan antara kegitan sektor informal dan perekonomian nasional, dan menentukan
sifat dan kendala pengembangannya.
2.
Tata Guna Lahan Pedesaan
Desa atau perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian
rural dan village. Pengertian ini bisanya sejalan dengan penyebutan terhadap
kota yang diambil dari urban atau town. Wilayah perdesaan mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
Perbandingan tanah dengan manusia (man landratio) biasanya besar
b.
Lapangan kerja agraris
c.
Hubungan penduduk yang akrab
d.
Sifat yang cenderung mengikuti tradisi
Perkampungan atau permukiman di perdesaan di
Indonesia umumnya merupakan permukiman memusat (agglomerated rural settlement) berupa dukuh atau dusun dengan
jumlah rumah bervariasi. Di sekitar desa terdapat lahan pertanian, perikanan,
peternakan, hutan, pertambangan, dll yang merupakan tempat penduduk mencari
nafkah sehari-hari.
Perkampungan tradisional Indonesia yang mengelompok
berbeda dengan corak perkampungan di Eropa Barat, AS, Kanada, dll yang jarak
antar rumah relatif jauh dan terpencar (disseminated
rural settlement).
T. Hanafiah (1989) mencatat beberapa konsep dan
pendekatan pembangunan perdesaan antara lain, pengembangan masyarakat (community development), pembangunan desa
terpadu (integrated rural development),
pembukaan daerah baru dan mendorong migrasi penduduk serta pengelompokan
permukiman kecil, pembangunan pertanian, industri pedesaan, kebutuhan dasar
manusia (basic needs strategy), pusat
pertumbuhan dan wilayah pengembangan (integrated
area development), dan pendekatan agropolitan.
Usman, dkk (2002) menulis permasalahan pembangunan
desa lainnya yang cukup menonjol adalah pembangunan desa yang terlalu bernuansa
modernisme. Desa dipandang sebagai “karakter yang terbelakang” yang sebenarnya
lebih merupakan “visi kota”.
Mike Douglass (1998) menulis desa-kota dapat dibangun
dengan konsep agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat
tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota
dalam
wilayah tersebut.
Fungsi kota
lebih dititikberatkan sebgai pusat kegiatan non-pertanin dan pusat
administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru memiliki fungsi sebagai
unit pengembangan.
3.
Analisis
Bangkitan Pergerakan
Tujuan dasar tahap bangkitan pergerakan
adalah menghasilkan model hubungan yang mengaitkan tata guna lahan dengan
jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona atau jumlah pergerakan yang
meninggalkan suatu zona.
Tahapan bangkitan pergerakan ini meramalkan
jumlah pergerakan yang akan dilakukan oleh setiap orang pada setiap zona.
Ada beberapa definisi dasar mengenai
bangkitan pergerakan, yaitu pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan,
termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan (misalnya berhenti
diperjalan untuk membeli rokok) tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. Meskipun pergerakan sering diartikan dengan pergerakan
pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis keduanya harus
dipisahkan. Hal yang dikaji di sini tidak saja mengenai pergerakan
berkendaraan, tetapi juga pergerakan berjalan kaki.
Untuk mencapai tujuan, pelaku perjalanan
dapat menentukan keputusan perjalanan untuk memilih moda angkutan (Model
Choice) yang sesuai dengan nilai manfaat (Utility) seseorang.
4.
Distribusi
Pergerakan
Distribusi
pergerakan merupakan fase ke dua dalam perencanaan transportasi perkotaan yang
mengenai hubungan penghasil perjalanan dengan penarik perjalanan. Model ini
meliputi pembagian perjalanan yang dihasilkan dalam sebuah zona ke zona lainnya
(destination).
Gambar 2 Metode Untuk Mendapatkan Matrik Asal Tujuan (
MAT )
5.
Interaksi Pergerakan
Interaksi dapat
diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga
menghasilkan efek bagi kedua belah pihak. Misalnya hubungannya dengan interaksi
antara kota A dan kota B, interaksi kedua tempat ini dipengaruhi oleh munculnya
keinginan untuk memenuhi kebutuhan dari kedua tempat. Pola interaksinya tidak
hanya terbatas pada faktor ekonomi saja tetapi lebih dari itu pola interaksinya
berlangsung dalam seluruh aspek kehidupan. Selain itu, interaksi ini akan
memunculkan gerakan penduduk dari kedua tempat sebagai bentuk nyatanya.
VI.
Contoh Kasus
Fajar adalah mahasiswa Undip Semarang, dan bertempat
tinggal di Kota Salatiga. Pada akhir pekan, ia sering pulang ke Salatiga dan
kembali ke Kota Semarang pada Senin pagi hari. Akan tetapi pada Senin pagi
sering ia jumpai kemacetan dalam perjalanan, di beberapa lokasi karena adanya
aktifitas pabrik dan keramaian pasar di Jalan Raya Semarang-Salatiga. Oleh karena
itu, banyak pengendara roda dua dan roda empat yang terjebak dalam kemacetan
sehingga mereka sering kali terlambat tiba di tempat tujuan. Dari peristiwa di
atas dapat kita gambarkan bagaimana sulitnya aksesbilitas antara Semarang dan
Salatiga karena kemacetan. Oleh karena itu, jika pembangunan jalan tol Semarang
– Bawen sudah selesai, maka jauh lebih baik untuk kendaraan roda empat
menggunakan jasa jalan tol tersebut sehingga volume kendaraan di Jalan Raya
Semarang-Salatiga dapat berkurang sehingga dapat mengurangi kemacetan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar