Selasa, 23 April 2013

REVIEW :: SISTEM PERGERAKAN DAN AKTIVITAS KOTA


TUGAS REVIEW PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH (PPW)
SISTEM PERGERAKAN dAN AKTIVITAS KOTA”




Disusun oleh:
KELOMPOK XII
1.      Virgus Arisondang                                        21110110110013
2.      Fajar Dwi Hernawan                                    21110110120028
3.      Vincencya Hutagaol                                      21110110110053
4.      Yuliansyah Rachman                                   21110110141013
5.      Avi Yudhanto                                                21110111130030

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof.H.Sudarto, SH Tembalang Semarang, Jawa Tengah
Fax: (024) 76480788, Telp: (024) 76480788
e-mail : jurusan@geodesi.ft.undip.ac.id
2013


PENDAHULUAN
I.                   Pergerakan
Klasifikasi dari pergerakan, yaitu berdasarkan tujuan pergerakan, berdasarkan waktu, dan berdasarkan tingkat pendapatan, struktur rumah tangga dan tingkat pemilikan kendaraan
Jumlah aktivitas dan intensitas tata guna lahan berpengaruh kepada sebaran pergerakan (Trip Distribution) yang menunjukkan kemana dan dari mana lalu lintas tersebut bergerak. Salah satu usaha untuk mengatasinya adalah dengan memahami pola pergerakan yang akan terjadi, misalnya dari mana hendak kemana, besarnya pergerakan, kapan terjadinya pergerakan tersebut.
II.                   Sistem
Sistem adalah gabungan bebrapa komponen (objek) yang saling berkaitan dalam satu tatanan struktur. Perubahan suatu komponen dapat menyebabkan perubahan komponen lainnya. Misalnya, sistem transportasi merupakan bentuk keterkaitan antara penumpang/barang, sarana, dan prasarana, yang saling berinteraksi dalam kegiatan perpindahan orang dan barang yang tercakup dalam satu tatanan, baik alamiah maupun rekayasa manusia.
III.                   Sistem Pergerakan
Sistem pergerakan adalah hasil interaksi system kegiatan dengan system jaringan, dapat berwujud lalu-lintas orang, kendaraan, atau barang. Diperlukan system kelembagaan untuk menciptakan system pergerakan yang aman, nyaman, cepat, murah, dan sesuai lingkungan. Perubahan system kegiatan akan mempengaruhi system jaringan dalam bentuk perubahan tingkat pelayanan pada system pergerakan. Perubahan pada system jaringan akan mempengaruhi system kegiatan dalam bentuk perubahan mobilitas dan aksesbilitas pergerakan.
IV.                   Alat Transportasi
Pergerakan tidak dapat dipisahkan dari alat transportasi. Terlebih di kota-kota besar selalu mengandalkan alat transportasi untuk mendukung pergerakan di dalamnya. Usaha pemerintah dalam mendukung pergerakan banyak dilakukan melalui pemecahan sektoral, dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan, pembangunan jaringan jalan baru, rekayasa manajemen lalu lintas, dan pengaturan transportasi angkutan umum. Kebutuhan pergerakan cenderung berkembang dengan pesat sedangkan penyediaan fasilitas dan prasarana transportasi berkembang sangat lamban sehingga tidak bisa mengikutinya.
Selain pemecahan secara sektoral untuk mendukung pergerakan dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendekatan struktur tata ruang kota terpadu. Struktur kota yang efisien akan mengakomodasikan pusat dan sub pusat kota sedemikian rupa sehingga mampu mengurangi ketergantungan kawasan kota hanya pada satu kawasan pusat atau dapat disimpulkan struktur kota yang baik akan mampu menyebarkan pola pergerakan secara merata diseluruh kawasan, tidak terpusat pada pusat kota.



PEMBAHASAN
V.                   Faktor Pergerakan
Struktur kota dan penggunaan lahannya berpengaruh terhadap pola pergerakan. Untuk mencapai terwujudnya tujuan review ini dilakukan analisis struktur kota dengan menganalis faktor kependudukan, pola tata guna lahan, jaringan jalan dan menganalis pola pergerakan melalui analisis bangkitan pergerakan, distribusi pergerakan, dan interaksi pergerakan.
1.         Faktor Kependudukan
Adanya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan sosial ekonomi, juga peningkatan kebutuhan pelayanan, dan selaras dengan itu akan terjadi peningkatan prasarana. Sebagai Sistem Kota, Prasarana (infrastruktur) merupakan kelengkapan dasar lingkungan, kawasan, kota, atau wilayah (ruang/spatial). Dimana dengan perkembangan tersebut akan mempengaruhi tingkat kepadatan dan juga pola pergerakan penduduk di suatu wilayah.
2.      Pola Tata Guna Lahan
Perbedaan karakteristik pola tata guna lahan antara tanah perkotaan dan tanah pedesaan adalah sebagai berikut.


1.             Tata guna lahan perkotaan
Salah satu pendekatan dalam manajemen tata guna lahan perkotaan adalah pendekatan ekonomi atau economic base approach. Pendekatan ini membagi kegiatan ekonomi menjadi 2 yaitu:
a.         Kegiatan ekonomi dasar (basic activities) yang membuat dan atau menyalurkan barang dan jasa ke tempat lain di sekitar kota.
b.        Kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi dan menyalurkan barang dan jasa untuk keperluan penduduk kota itu sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan residential activities atau service activities.
Kegiatan ekonomi yang menggunakan lahan perkotaan adalah sebagai berikut.
a.         Industri, terdiri dari:
1)        Industri berhaluan bahan (bahan mentah harus diperhitungkan secara khusus), berlokasi di tempat tedapatnya bahan mentah tsb.
2)        Industri berhaluan pasar, berlokasi di tempat pemasaran.
3)        Industri berhaluan pekerja, berloksi di tempat tenaga kerja yaitu pengerjaan barang industri yang memerlukan keahlian khusus seperti membatik, bordir, dll.
b.        Jasa, yang menggunakan lahan kota adalah jalan, terminal, rel kereta api, stasiun, dsb. Selain itu, perdagangan (toko, warung, dll), pendidikan, rekreasi, kesehatan, keagamaan, pemerintahan, dll.
c.         Sektor informal.
Menurut ILO, sektor informal di negara berkembang diantaranya menyangkut penduduk yang banyak sekali serta bukan merupakan pekerjaan sementara, meliputi banyak macam kegiatan ekonomi, pada beberapa kasus sektor informal dan sektor formal berhimpitan, dan keberadaannya bukan merupakan indikasi atas ketertinggalan perkembangan ekonomi.
Pengelolaan sektor informal di negara berkembang dilakukan dengan menentukan skala dan luas sektor informal, menentukan pola produksi, menentukan pola dan sumber investasi serta jumlahnya, menentukan tingkat pendapatan dan tabungan, menentukan sifat dan keterkaitan antara kegitan sektor informal dan perekonomian nasional, dan menentukan sifat dan kendala pengembangannya.
2.             Tata Guna Lahan Pedesaan
Desa atau perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village. Pengertian ini bisanya sejalan dengan penyebutan terhadap kota yang diambil dari urban atau town. Wilayah perdesaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.         Perbandingan tanah dengan manusia (man landratio) biasanya besar
b.        Lapangan kerja agraris
c.         Hubungan penduduk yang akrab
d.        Sifat yang cenderung mengikuti tradisi
Perkampungan atau permukiman di perdesaan di Indonesia umumnya merupakan permukiman memusat (agglomerated rural settlement) berupa dukuh atau dusun dengan jumlah rumah bervariasi. Di sekitar desa terdapat lahan pertanian, perikanan, peternakan, hutan, pertambangan, dll yang merupakan tempat penduduk mencari nafkah sehari-hari.
Perkampungan tradisional Indonesia yang mengelompok berbeda dengan corak perkampungan di Eropa Barat, AS, Kanada, dll yang jarak antar rumah relatif jauh dan terpencar (disseminated rural settlement).
T. Hanafiah (1989) mencatat beberapa konsep dan pendekatan pembangunan perdesaan antara lain, pengembangan masyarakat (community development), pembangunan desa terpadu (integrated rural development), pembukaan daerah baru dan mendorong migrasi penduduk serta pengelompokan permukiman kecil, pembangunan pertanian, industri pedesaan, kebutuhan dasar manusia (basic needs strategy), pusat pertumbuhan dan wilayah pengembangan (integrated area development), dan pendekatan agropolitan.
Usman, dkk (2002) menulis permasalahan pembangunan desa lainnya yang cukup menonjol adalah pembangunan desa yang terlalu bernuansa modernisme. Desa dipandang sebagai “karakter yang terbelakang” yang sebenarnya lebih merupakan “visi kota”.
Mike Douglass (1998) menulis desa-kota dapat dibangun dengan konsep agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota
dalam wilayah tersebut.
Fungsi kota lebih dititikberatkan sebgai pusat kegiatan non-pertanin dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru memiliki fungsi sebagai unit pengembangan.
3.         Analisis Bangkitan Pergerakan
Tujuan dasar tahap bangkitan pergerakan adalah menghasilkan model hubungan yang mengaitkan tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Tahapan bangkitan pergerakan ini meramalkan jumlah pergerakan yang akan dilakukan oleh setiap orang pada setiap zona.
Ada beberapa definisi dasar mengenai bangkitan pergerakan, yaitu pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan (misalnya berhenti diperjalan untuk membeli rokok) tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. Meskipun pergerakan sering diartikan dengan pergerakan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis keduanya harus dipisahkan. Hal yang dikaji di sini tidak saja mengenai pergerakan berkendaraan, tetapi juga pergerakan berjalan kaki.
Untuk mencapai tujuan, pelaku perjalanan dapat menentukan keputusan perjalanan untuk memilih moda angkutan (Model Choice) yang sesuai dengan nilai manfaat (Utility) seseorang.
4.             Distribusi Pergerakan
Distribusi pergerakan merupakan fase ke dua dalam perencanaan transportasi perkotaan yang mengenai hubungan penghasil perjalanan dengan penarik perjalanan. Model ini meliputi pembagian perjalanan yang dihasilkan dalam sebuah zona ke zona lainnya (destination).

Gambar 2  Metode Untuk Mendapatkan Matrik Asal Tujuan ( MAT )
5.             Interaksi Pergerakan
Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga menghasilkan efek bagi kedua belah pihak. Misalnya hubungannya dengan interaksi antara kota A dan kota B, interaksi kedua tempat ini dipengaruhi oleh munculnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan dari kedua tempat. Pola interaksinya tidak hanya terbatas pada faktor ekonomi saja tetapi lebih dari itu pola interaksinya berlangsung dalam seluruh aspek kehidupan. Selain itu, interaksi ini akan memunculkan gerakan penduduk dari kedua tempat sebagai bentuk nyatanya.


VI.            Contoh Kasus
Fajar adalah mahasiswa Undip Semarang, dan bertempat tinggal di Kota Salatiga. Pada akhir pekan, ia sering pulang ke Salatiga dan kembali ke Kota Semarang pada Senin pagi hari. Akan tetapi pada Senin pagi sering ia jumpai kemacetan dalam perjalanan, di beberapa lokasi karena adanya aktifitas pabrik dan keramaian pasar di Jalan Raya Semarang-Salatiga. Oleh karena itu, banyak pengendara roda dua dan roda empat yang terjebak dalam kemacetan sehingga mereka sering kali terlambat tiba di tempat tujuan. Dari peristiwa di atas dapat kita gambarkan bagaimana sulitnya aksesbilitas antara Semarang dan Salatiga karena kemacetan. Oleh karena itu, jika pembangunan jalan tol Semarang – Bawen sudah selesai, maka jauh lebih baik untuk kendaraan roda empat menggunakan jasa jalan tol tersebut sehingga volume kendaraan di Jalan Raya Semarang-Salatiga dapat berkurang sehingga dapat mengurangi kemacetan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar